article
Dalam sebuah strategi bertarung seseorang bisa mengalahkan lawannya setelah sejenak berpura-pura telah mati. Rupanya untuk sekejap lawannya diberi kesempatan untuk merasa menang. Akibatnya, ia menjadi lengah, dan persis pada saat itulah orang yang berpura-pura mati menyerang balik dan mengalahkan lawannya. Rasa menang sesaat ternyata bisa menjadi perangkap bagi diri sendiri yang mambawa kehancuran.
Perhatikan kartu-kartu undangan pernikahan di masyarakat kita. Sungguh menggelikan, karena sebelum atau sesudah nama yang tertera disertakan juga gelar-gelar yang ada. Jika rentetan gelar itu semakin panjang, semakin pula tercipta gambaran public yang bergengsi tentang orang-orang itu. Seorang manusia, seorang pribadi, ditentukan oleh sesuatu yang hanya menempel pada lapisan luarnya saja.
Suatu hari, dunia disentak oleh sebuah berita. Seorang pemimipin teroris telah mati tertembak. Luapan kegembiraan segera mengalir. Orang pun berbondong-bondong berpesta di alun-alun kota. Jika benar pemimpin teroris itu telah mati, muncullah harapan bahwa rantai kejahatan segera terputus. Sukacita dirasakan ketika kekuatan yang mengancam itu tidak ada lagi.
Ada seorang perempuan yang menjadi berita. Kelihaiannya berbicara ditambah dengan penampilannya yang menawan berhasil memikat banyak orang. Dari sanalah ia berhasil meraup kekayaan sangat besar. Mereka semula merasa bangga karena telah kenal dekat dengannya. Rupanya, mereka sama sekali tidak dijadikan sebagai sahabat, melainkan sebagai hamba. Kepadanyalah tanpa sadar mereka telah tunduk mengabdi.
Lautan luas member rasa lapang dan merdeka. Namun demikian, di lautan luas itu pula tersembunyi bahaya besar. Ada sekian banyak gerombolan perampok yang akan menghadang dan membunuh. Ruang leluasa untuk bergerak segera dibatasi ketika kekuatan kejahatan itu masuk dan mengganggu seluruh rencana yang telah disiapkan. Kebencian para perampok memang selalu berarti pembatasan kemerdekaan pelaut.