Article Detail

Yuk...Membentuk Karakter Siswa dengan Sastra

Diakui atau tidak, sense of crisis atau kepekaan sosial yang dimiliki siswa kita masih cenderung rendah. Hal ini ditunjukkan dengan maraknya tawuran pelajar, seks bebas, penggunaan narkoba, serta berbagai tindak amoral lainnya. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, karena di tengah krisis bangsa yang berkepanjangan, maraknya korupsi para pejabat Negara, kerusakan lingkungan yang terus terjadi, dan berbagai penyakit masyarakat yang lain, kepedulian generasi muda sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam memupuk sense of crisis seorang siswa. Secara garis besar, pendidikan mencakup tiga aspek penting, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Kognisi cenderung berhubungan dengan perkembangan otak. Aspek ini terdapat dalam pelajaran Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, dan sebagainya. Psikomotorik berhubungan dengan perkembangan tubuh atau fisik seperti olah raga. Afeksi berhubungan dengan perasaan dan moral yang membentuk kepekaan sosial. Aspek ini terdapat dalam pelajaran Agama, PKn, Seni budaya, serta Bahasa dan Sastra. Pendidikan yang ideal seharusnya mencakup ketiga aspek tersebut secara seimbang sehingga menghasilkan SDM yang unggul dan berkualitas, bukan hanya dalam hal otak, namun juga jasmani dan rohani.

Pendidikan di Indonesia selama ini lebih menekankan kepada aspek kognitif dibandingkan dengan kedua aspek lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum yang ada, sistem pembelajaran, sistem evaluasi, penggunaan multiple choice dalam ujian, dan seterusnya. Padahal kedua aspek lainnya, psikomotorik dan afektif, tidak kalah penting. Di antaranya membentuk karakter bangsa yang peduli dengan lingkungan sosial serta memiliki empati yang besar.

Sekarang semakin banyak orang yang sadar bahwa keunggulan seseorang bukan semata-mata ditentukan oleh IQ. Dengan IQ tinggi seseorang memang dapat menciptakan berbagai hal menakjubkan. Namun yang dibutuhkan untuk hidup bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu, tetapi juga kecerdasan emosional. Kecerdasan ini sering disebut dengan EI (Emotional Intellegence). Berbagai penelitian menyebutkan bahwa orang yang memiliki IQ biasa-biasa saja tetapi memiliki EI tinggi memiliki tingkat keberhasilan hidup lebih baik daripada seseorang dengan IQ yang sangat tinggi den EI rendah.

Banyak hal yang dapat dilakukan guna meningkatkan EI, di antaranya dengan pendidikan Agama, PKn, Seni dan terutama Bahasa dan Satra. Pendidkan Sastra yang dimaksud di sini adalah membaca dan mengkaji berbagai karya sastra secara utuh, tidak hanya sepenggal-sepenggal.

Selama ini sastra hanya menjadi pelengkap yang tidak diperhatikan secara serius dalam kurikulum pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sastra hanya lewat sekilas saja, karena yang lebih ditekankan adalah aspek bahasa. Padahal, belajar sastra juga belajar bahasa. Kalau belajar bahasa, seorang siswa hanya mendapatkan bahasa itu saja, tetapi kalau belajar sastra, seorang siswa akan mendapatkan bahasa dan sastra sekaligus.

Pendidikan sastra yang selama ini dipandang sebelah mata, sebenarnya merupakan cara yang sangat ampuh dalam meningkatkan afeksi seseorang. Tidak jarang kita sampai menitikkan air mata saat membaca sebuah novel atau terharu saat mendengarkan sebuah puisi yang dibacakan. Dengan membaca berbagai macam karya sastra kita dapat belajar untuk mengasah perasaan kita, berempati, dan lebih menghargai orang lain. Selain itu dengan banyak membaca berbagai karya sastra, kita dapat memperluas pengetahuan serta membuat kita lebih dewasa dan memperhalus perasaan, dan akhirnya bagi para siswa dengan membaca karya sastra dapat membentuk karakter siswa yang peduli dengan lingkungan sosial dan mempunyai empati serta kehalusan perasaan.

Sayangnya, pendidikan sastra di sekolah-sekolah saat ini kurang mendapat perhatian. Masih banyak orang yang lebih mementingkan aspek kognitif dengan menganggap Matematika, Fisika, Kimia, lebih penting daripada Sastra dan Seni.

 

 

P. Budi Winarto

 Guru Bahasa Indonesia SMP Pendowo Ngablak Magelang

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment