Article Detail
Ujian Nasional Tidak Mengukur kecerdasan Siswa Secara Komprehensif
Suatu siang di Gedung Serbaguna sebuah SMP Swasta berkumpul sekelompok siswa. Mereka tampak serius, tegang, cemas dan resah mendengarkan wejangan kepala sekolahnya. “ Sudah jauh-jauh hari, kami informasikan kepada orang tua kalian bahwa kriteria kelulusan untuk tahun ini berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, untuk tahun ini kelulusan siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai ujian nasional saja tapi juga nilai raport semester 1 sampai semester 5 dan nilai ujian sekolah, dan kami tidak bisa membantu kalian. Jadi lulus tidaknya, kalian sendirilah yang menentukan.” Demikian antara lain kepala sekolah itu menyampaikan sambutannya.
Itulah sekelumit cerita mengenai persiapan sekolah dan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional. Tentu cerita ini hanya sebagian kecil dari keresahan siswa, pihak sekolah maupun masyarakat akibat adanya kriteria atau peraturan baru mengenai kelulusan siswa secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah, yang tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun ini, kelulusan siswa ditentukan oleh nilai ujian nasional dan nilai raport semester 1 sampai semester 5 serta nilai ujian sekolah, dengan bobot; nilai Ujian Nasional 60% dan Nilai raport semester 1 sampai 5 serta Ujian Sekolah 40%. Sebagai seorang guru yang setiap tahun mendampingi siswa untuk mempersiapkan Ujian Nasional, saya berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah tidak menerapkan standar kelulusan secara nasional dengan hanya menguji kecerdasan akademik saja seperti yang diujikan dalam ujian nasional, sebab siswa juga memiliki kecerdasan-kecerdasan lainnya selain kecerdasan akademik.
Pakar Komunikasi personal dari Amerika Serikat, John Gray (1999:215), mengemukakan, “Setiap anak dilahirkan dengan semua kecerdasan dengan tingkat yang berbeda-beda. Setiap macam kecerdasan dapat dirangsang dengan dorongan yang tepat untuk tingkat perkembangan yang lebih tinggi”. Ia membagi kecerdasan anak menjadi delapan bagian antara lain: Pertama; kecerdasan akademik. Anak yang mempunyai kecerdasan akademik tinggi akan berhasil di sekolah. Mereka dapat duduk, mendengarkan dan belajar. Mereka mampu menyerap, menangkap dan mengulang pengetahuan yang diajarkan kepada mereka. Orang tua perlu memberi anak-anak ini peluang akdemik. Kedua; Kecerdasan emosional. Anak yang mempunyai kecerdasan emosional kuat, mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan sehat dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Mereka lebih sadar akan bagaimana orang lain berpikir, merasa dan dapat merasakan sudut pandang orang lain.
Ketiga; kecerdasan fisik. Anak yang mempunyai kecerdasan fisik tinggi dengan mudah berhasil dalam olah raga dan mampu menjaga tubuhnya tetap kuat, sehat dan vital. Untuk mengembangkan kemampuan atletik, mereka membutuhkan kesempatan untuk berlatih dan dilatih. Kemampuan bawaan ini dapat ditingkatkan dengan cara bersaing dengan anak-anak lain. Persaingan yang ketat akan membuat mereka menghasilkan yang terbaik. Keempat; kecerdasan kreatif. Anak yang memiliki kecerdasan kreatif mampu mengembangkan daya imajinasi dalam hidupnya. Banyak pengusaha sukses tidak memiliki pendidikan formal atau tidak mempunyai nilai baik di sekolah. Mereka berhasil karena mereka kreatif.
Kelima; kecerdasan artistik. Anak yang mempunyai kecerdasan artistik secara alami lebih tertarik dalam bidang menyanyi, menggambar, merancang, menulis, sandiwara, komedi, drama dan berbagai bentuk ekspresi seni lainnya. Mereka perlu dirangsang oleh orang lain yang sudah menguasai bakat seninya. Keenam; kecerdasan penalaran. Anak yang mempunyai kecerdasan penalaran seringkali bosan mendengarkan pelajaran intelektual. Mereka hanya menginginkan informasi-informasi praktis. Anak yang mempunyai kecerdasan penalaran perlu mempunyai kemahiran yang dapat digunakan dalam kehidupan mereka dalam hubungan dan pekerjaan mereka. Mereka tidak termotivasi untuk mengingat-ingat informasi kecuali kalau ada nilai fungsionalnya.
Ketujuh; kecerdasan intuitif. Anak yang mempunyai intuisi kuat, banyak tahu tentang segala hal. Mereka tidak perlu diajar atau diberitahu. Yang perlu mereka lakukan hanya membaca beberapa kalimat dalam sebuah buku dan secara intuitif mereka mengetahui sebagian besar isinya. Selain secara intuitif merasakan isinya, mereka mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang isinya.
Kedelapan; kecerdasan berbakat. Anak yang mempunyai kecerdasan berbakat cenderung untuk sangat baik dalam kecerdasan tertentu, tetapi kurang baik dalam hal lainnya. Anak berbakat mempunyai banyak di satu kecerdasan dan sedikit kecerdasan lainnya. Untuk menjalani hidup yang bahagia dan puas, anak berbakat membutuhkan dukungan khusus serta bimbingan yang menantang bakat khusus mereka. Kalau tidak, mereka menjadi bosan dan tidak termotivasi.
Adakah hubungan antara kesiapan pemerintah dengan kecerdasan anak dan terhadap mutu lulusan siswa? Jelas ada hubungannya, karena kalau pemerintah siap, maka mutu lulusan menjadi terjamin. Dalam hal ini, pemerintah belum siap melaksanakan Ujian Nasional dengan mempertimbangkan anak yang mempunyai kecerdasan lain selain kecerdasan akademik. Terbukti dengan hanya mengujikan mata pelajaran akademik saja seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA. Pengujian semacam ini hanya akan menguntungkan anak yang mempunyai kemampuan akademik, sedangkan yang mempunyai kecerdasan lain akan terseok-seok.
Ujian nasional (UN) ibarat tes renang dan tes memanjat untuk semua binatang. Secara kasat mata dapat dengan mudah ditentukan siapa yang lulus dan tidak. Tes tersebut membuat sebagian binatang tidak lulus. Contoh, kuda akan gagal pada tes renang dan memanjat, ia memerlukan tes lain, lari misalnya. Ia akan menjadi juara meski gagal tes renang dan memanjat. Demikian juga kucing, jangankan lulus tes renang, sama air saja takut. Kucing memerlukan tes menerkam untuk menunjukkan potensinya.
Dengan hanya menerapkan kelulusan siswa berdasarkan pengujian akademik saja, akan sulit menghasilkan lulusan bermutu atau siap kerja dengan keterampilan yang cukup. Dalam hal ini banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, antara lain:
Pertama; perlu banyak jenis tes sebagai standar kelulusan siswa. Pemerintah wajib menerapkan Passing grade, tetapi ditentukan sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki anak-anak. Anak yang memiliki kecerdasan fisik, mereka diberi tes berlari, berenang atau sejenisnya. Hal ini sesuai dengan perspektif teori kecerdasan majemuk, setiap orang dianugerahi yang berbeda-beda, maka Ujian Nasional tidak memadai untuk menentukan kelulusan siswa. Ini sama halnya dengan dengan tes renang dan memanjat sebagai penentu kelulusan, bertentangan dengan kenyataan bahwa dunia tidak hanya dihuni oleh ikan dan monyet. Masih banyak kucing, kuda, burung, gajah dan sebagainya yang tidak akan lulus tes tersebut dan memerlukan tes dalam bentuk lain. Kalau anak dites sesuai dengan kecerdasannya, tentu ini baru dikatakan adil. Sebab tidak ada jaminan bahwa anak yang gagal dalam Ujian Nasional akan gagal pula dalam meniti hari depannya, demikian sebaliknya tidak ada jaminan anak yang memperoleh nilai bagus dalam Ujian Nasional akan sukses meniti hidupnya. Terbukti banyak sarjana yang menganggur atau banyak sarjana yang tidak berhasil dalam hidupnya.
Kedua; perlu kesungguhan pemerintah meningkatkan mutu pendidikan. Banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah terlebih dahulu, seperti merenovasi gedung-gedung sekolah yang rusak, menyediakan buku-buku penunjang pelajaran, selain meningkatkan kesejahteraan guru dan lainnya. Tidak pantas pemerintah ngotot menerapkan Ujian Nasional dengan passing grade tertentu, selain tidak adil, biaya yang dikeluarkan banyak, hasil yang didapat malah menjerumuskan anak didik penerus generasi bangsa. Pemerintah bukan menciptakan lulusan yang bertakwa, cerdas dan berbudi luhur, tetapi malah mendidik mereka menjadi manusia-manusia yang kerdil dan munafik.
Mengapa demikian? Banyak sekolah mengupayakan agar semua siswa lulus dengan segala cara dilakukan seperti, memberikan secuil kertas berisi kunci jawaban, lewat pesan singkat (SMS), membongkar amplop lembar jawaban kemudian mengganti jawaban siswa yang salah atau dengan cara lainnya. Meski hal ini sulit dibuktikan, tetapi realitanya banyak terjadi di berbagai daerah.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa dari tahun ke tahun banyak siswa yang gagal dalam Ujian nasioanl, hal ini bukan dikarenakan mereka bodoh, tetapi mereka dirugikan dengan bentuk dan jenis tes dalam Ujian Nasional yang hanya mengukur kecerdasan akademik, sehingga tidak dapat mengukur kecerdasan siswa secara komprehensif. Andai kata ada bentuk dan jenis tes lain yang melayani semua kecerdasan anak, tentunya hanya sedikit yang tidak berhasil dalam Ujian Nasional.
Paulus Budi Winarto
Guru SMP Pendowo Ngablak Magelang
-
there are no comments yet