Article Detail
Peran Pendidikan Luar Sekolah
Ketika pendidikan formal gagal mendongkrak kualitas lulusan, masyarakat serta merta beralih ke lembaga Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang diimplementasikan melalui pelajaran tambahan, pelatihan dan bimbingan di lembaga non formal. Perannya patut diperhitungkan dalam memajukan pendidikan nasional.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Pasal 26, ayat 1 dan 4) mengatakan, pendidikan non formal (PNF) diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan PNF terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan sebagainya. PNF semacam ini lebih merupakan jawaban terhadap lunturnya kepercayaan masyarakat akan pendidikan formal. Padahal, ritme kegiatan belajar mengajar yang ditawarkan sekolah formal lebih kondusif dengan bantuan tenaga pengajar profesional dan alat kelengkapan yang memadai.
Namun seiring perjalanan waktu, mau tidak mau siswa harus mempelajari beberapa pelajaran tambahan. Dalam keadaan begini sekolah formal tidak sanggup menangani semua kebutuhannya. Di antaranya, kursus piano, pelajaran seni lukis dan seni tari yang berorientasi keterampilan teknis. Sementara di sekolah formal pelajaran tambahan seperti itu belum maksimal penanganannya.
Hal menarik lainnya yakni jumlah pesrta didik dalam kelas non formal relatif kecil sehingga guru atau pembimbing dengan mudah memantau perkembangan dan partisipasinya dalam setiap kegiatan akademik. Beberapa lembaga kursus atau bimbingan belajar telah dilengkapi fasilitas yang memadai, lingkungan belajar yang nyaman, peserta didik tidak memakai pakaian seragam. Aturan yang diterapkan lebih luwes sehingga terkadang begitu banyak yang tidak datang atau seenaknya datang terlambat. Jadwal kegiatan akademik lainnya yang mengejar deadline dipastikan terganggu.
Kesadaran Individu untuk Belajar.
Setiap individu semestinya sadar bahwa proses pembelajaran di lembaga Pendidikan Luar Sekolah (PLS) berjalan tanpa paksaan. Walaupun ada kelonggaran aturan, tidak berarti Pendidikan sebagai sebuah proses mengabaikan disiplin, kerja sama, dan keinginan untuk belajar dalam kelompok.
Untuk membangkitkan kesadaran individu yang sedang belajar, John Dewey (1859-1952) seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika, menawarkan metode “learning by doing” dengan menyatukan teori dan praktik sekaligus. Kenyataan ini bertolak belakang dengan sejumlah lembaga pendidikan formal yang hanya menekankan teori atau praktik semata karena fasilitas pembelajaran serba minim bahkan tidak ada sama sekali.
Untungnya para peserta didik tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi. Kekurangan fasilitas tidak menyurutkan niat mereka untuk belajar. Mereka juga tidak peduli kalau sewaktu-waktu proses pembelajaran berlangsung di halaman terbuka, di pendopo kelurahan atau di rumah-rumah penduduk.
Ketika kondisi ini tak kunjung dibenahi, kita jangan berharap kesadaran individu yang belajar semakin besar. Jangan berharap mutu pendidikan kita akan meningkat.
Pada tataran ini Pendidikan Luar Sekolah (PLS) kiranya hadir sebagai mitra yang membantu proses pendidikan formal selama ini. Ketika begitu banyak warga masyarakat yang tidak mengikuti pendidikan di sekolah formal, keberadaannya jangan dipandang sebelah mata. Siapa yang tidak menyangka kalau potensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan keterampilan masyarakat bisa dikembangkan di lembaga non formal. Bukankah kehadirannya di tengah masyarakat patut diperhitungkan?
Belajar Mandiri
Lembaga pelatihan, kursus atau bimbingan belajar mengutamakan otonomi pembelajaran. Artinya para peserta didik dituntut untuk belajar mandiri. Demikian pula pengajar harus benar-benar professional dan otonom dalam merancang atau menerapkan kegiatan pembelajaran. Asumsinya kelak mereka akan hidup dan belajar mandiri dan bisa menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya.
Selebihnya PLS menanamkan mentalitas disiplin. John Locke (1632-1704) mengatakan tipe pendidikan yang demikian menekankan kedisiplinan melalui suatu bimbingan belajar dan pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik. Misalnya, ketekunan dan kesabaran dalam mempelajari sesuatu. Ujung-ujungnya bermuara pada belajar mandiri (self-learning).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Bab VI pasal 27) membenarkan hal tersebut mengingat kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dengan demikian, otonomi individu merupakan produk dari proses belajar mandiri sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Tanpa upaya ini, sistem pendidikan nasional tidak memperoleh dukungan memadai bagi berlangsungnya proses pembudayaan berbagai kemampuan, sikap, watak dan nilai manusia Indonesia yang hidup di zaman modern yang penuh tantangan dan persingan.
Secara riil lingkungan belajar yang mengutamakan kemandirian seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), senantiasa, mendorong masyarakat belajar secara mandiri. Warga belajar untuk menyelesaikan permasalahan mereka sendiri dengan berbagai gagasan.
Melalui PKBM masyarakat bisa menyalurkan kreativitas seni dan keterampilan. Sejauh ini lembaga yang satu ini cukup memberi andil dalam menangani para siswa-siswi yang tidak lulus Ujian Nasional melalui program paket B dan C.
Pentingnya Sekolahan Rumahan
Selain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sekolah rumahan (home schooling) merupakan salah satu contoh PLS. Ada empat kontribusi penting sekolah rumahan. Pertama, belajar di rumah lebih menyenangkan. Kedua, belajar di rumah akan mendukung proses pematangan jiwa anak. Ketiga, belajar di rumah akan mendukung terciptanya lingkungan yang lebih komunikatif antar anggota keluarga. Keempat, anak-anak tidak hanya berkutat dengan buku-buku, tetapi mereka bisa diajak belajar di alam terbuka.
J.J. Rosseau (1712-1778) menggarisbawahi, pendidikan secara alamiah melalui hubungan dengan alam terbuka bermanfaat bagi tercapainya generasi yang mencintai dan melindungi alam. Peserta didik pun boleh meneliti apa yang telah disediakan alam bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Ironisnya alam yang terbentang luas di sekeliling kita seringkali tidak digunakan secara maksimal untuk proses pembelajaran. Alhasil, kita lebih suka belajar di ruangan tertutup daripada di alam terbuka. Para pengajar atau orang tua lebih suka memaparkan teori-teori daripada meneliti kebenarannya di sungai, hutan, danau dan lain-lain. Lantas, setiap hari kita selalu berhadapan dengan alam terbuka tetapi tidak dalam konteks pembelajaran.
Kalau itu yang terjadi sekolah rumahan sulit memadukan teori dan praktik dari fenomena alam. Ini terbukti dengan kebiasaan kita mengabaikan penelitian di alam terbuka. Akhirnya kita selalu berkutat dengan buku pelajaran yang tebal-tebal dan sulit dicerna. Tetapi jangan khawatir melalui bimbingan, usaha keras, kesabaran, disiplin dan ketekunan semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Semoga.
Paulus Budi Winarto
Guru SMP Pendowo Ngabla
-
there are no comments yet