Article Detail

Para Guru Tarakanita, Menulislah!

Menulis merupakan kebutuhan utama dalam proses transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sumber informasi yang sangat penting. Bisa dibayangkan bila proses , belajar tanpa ada tulisan yang bias dibaca, akan sulit sekali transfer dilakukan. Dan betapa susahnya mencari informasi kehidupan zaman dahulu beserta pemikiran-pemikiran tokohnya bila tanpa dokumen  yang bias dibaca, atau mereka tidak meninggalkan tulisan.

Tentu saja tulisan harus ada yang menulis. Tetapi untuk menjadi penulis itulah letak permasalahannya. Dari sudut kultur, budaya kita tidak terbiasa dengan budaya tulis, dan lebih condong pada budaya bicara (oral). Dari sisi pendidikan pun tidak lebih baik, guru yang seharusnya  menjadi teladan ternyata kurang greget-nya dalam bidang yang satu ini.

Sekarang ini disinyalir bahwa banyak guru yang enggan, atau “malas” untuk melakukan tulis menulis. Fakta seperti inilah yang menyadarkan kita bahwa ternyata menulis itu bukan hal yang mudah, bahkan bagi pihak yang seharusnya menjadi orang yang mengajari atau memberi  teladan, yakni guru.

Padahal kemampuan menulis bukan muncul semata-mata karena bakat. Menulis adalah sebuah proses pembelajaran dari berbagai macam kesulitan dan kegagalan.  Prinsip bahwa menulis adalah keterampilan (skill) mungkin pas dalam kasus ini. Artinya, menulis adalah hal nyata yang bisa dipelajari dengan ketekunan dan kemampuan untuk terus mempraktikannya. Sehingga anggapan bahwa kemampuan menulis sebagai bakat, tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menulis.

Lalu, bagaimana mungkin akan lahir seorang penulis handal  bila dari pendidikan saja tidak ada patokan yang jelas siapa yang harus digugu dan ditiru? Menyalahkan sistem pendidikan yang telah ditempuh guru  sebelumnya  bisa jadi kurang bijak. Karena manusia adalah makhluk rasional, yang sudah pasti tidak akan memilih sesuatu yang sulit bila ada yang lebih mudah. Menyalahkan seorang guru karena tidak membuat karya tulis ilmiah seperti Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pun tidak lebih baik. Logikanya adalah bagaimana mungkin seorang akan menulis karya tulis ilmiah yang cukup berat bila dilihat dari segi teknik penulisan, jika  dia belum mempunyai kemampuan untuk menulis yang paling dasar atau yang sederhana.

Maka perlu kiranya dilakukan terobosan-terobosan baru agar guru mampu mengekspresikan tuturnya lewat tulisan. Walaupun apabila kita mau kreatif sedikit, sarana untuk belajar berekspresi sudah ada di depan mata, di lingkungan sekolah. Misalnya, bagaimana seorang guru mau berpartisipasi di Majalah Dinding (Mading) sekolah. Kelihatannya ini remeh, tetapi apabila dilihat secara menyeluruh, justru partisipasi di level ini banyak sekali keuntungan yang bisa di dapat.

Pertama, dengan menyertakan tulisan di Mading siswa, guru secara tidak langsung memberi contoh kepada siswa untuk belajar menulis dan terus menulis.

Kedua, guru tidak perlu resah tulisannya tidak dimuat. Karena bagi siswa, tulisan partisipasi guru adalah berkah yang sangat besar. Sebaliknya, yang perlu diperhatikan adalah pada mutu tulisan itu sendiri, walaupun ini bisa diselesaikan dengan meminta  kritik saran dari pembaca, sehingga tulisan guru tidak memfosil (tidak bisa berkembang) karena ada kontrol kualitas dari luar.

Ketiga, dengan berproses bersama-sama dengan siswa, guru secara aktif mempraktikan pendidikan partisipatoris.

Bagi guru Tarakanita, sarana untuk latihan menulis sebenarnya sudah disediakan oleh yayasan, yaitu majalah “Getar Tarakanita” dan Website Tarakanita. Untuk itu, pada kesempatan ini  saya mengajak seluruh guru Tarakanita untuk memanfaatkan sarana yang telah disediakan oleh yayasan ini secara maksimal untuk berlatih menulis. Ayo…Para guru Tarakanita, Menulislah!

 

Paulus Budi Winarto

Guru SMP Penowo Ngblak

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment