Article Detail

Merawat Pancasila Dalam Pembelajaran Di Sekolah

Eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pilar-pilar yang berdiri di atasnya terus dikumandangkan. Kesadaran untuk kembali pada pancasila sebagai pedoman bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dilatarbelakangi oleh berbagai macam persoalan. Pertama, tipisnya toleransi yang melunturkan kesadaran hidup berdampingan di tengah perbedaan budaya dan agama, kedua, krisis kemanusiaan yang diwarnai kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol agama dan terkikisnya rasa keadilan terhadap masyarakat marginal, ketiga, terkikisnya karifan lokal yang melunturkan hidup bergotong royong dan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat, dan keempat, krisis kebangsaan yang mengarah pada perpecahan di masyarakat.

Situasi ini mendorong pembenahan diri untuk memaknai dan menerapkan nilai-nilai Pancasila yang sejatinya memiliki fungsi integratif bagi eksistensi NKRI. Upaya mengatasi persoalan menuntut pembenahan secara menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Lembaga pendidikan (sekolah) diharapkan mampu mengembangkan dan mengimplementasikan, mengingat secara konten Pancasila dan pilar-pilar negara sangat potensial mengembangkan pengetahuan kewarganegaraan bagi anak didik. Proses demokrasi yang berkembang dewasa ini berkaitan dengan partisipasi warga negara dan partisipasi itu dipupuk dalam lingkungan pendidikan.

Sebagai ujung tombaknya adalah guru karena berinteraksi langsung dengan anak didik dan pemegang kunci operasional pembelajaran. Gurulah yang akan membuka ruang dialog Pancasila sebagai pengetahuan dan perangkatb nilai-nilai yang akan diimplementasikan. Dialog dalam bentuk apapun, meminjam pendapat Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Jakarta adalah bagian dari proses revitalisasi atau mengunjungi kembali Pancasila (Rindu Pancasila, Kumpulan Tulisan, 2010, Kompas, hlm 9). Pendapat tersebut kiranyatepat mengingat pasca jatuhnyapemerintahan Orde Baru, Pancasila semakin tak terdengar dan kering tanpa makna. Hal ini disebabkan oleh krisis kepercayaan pada pemerintahan Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik dengan sifat indoktrinasi.

Mendesak untuk segera dilakukan adalah mencegah terjadinya penyakit lupa (amnesia) pada keberadaan Pancasila dan pilar-pilar negara agar kita tida rapuh sebagai bangsa. Membawa Pancasila sebagai pengetahuan pada proses pembelajaran diupayakan menyentuh sejarahnya, prinsip, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila. Anak didik diberikan pemahaman bahwa Pancasila adalah warisan sejarah sebagai ingatan bersama (Collective memory) yang digali dari kepribadian bangsa dan negara ini dibangun dengan idealisme yang mencerminkan humanisme religius yang bersumber pada sila ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan.

Bersamaan dengan pembelajaran tentang Pancasila, penting dikembangkan pula adalah pembelajaran pilar-pilar negara, Proklamasi kemerdekaan sebagai pesan eksistensial tertinggi menjadi bagian dalam pembelajaran sejarah. Guru sejarah menjadi kunci untuk mengembangkan cara berpikir anak didik agar memahami hakikat kemerdekaan dengan melihat kesinambungannya dengan konteks kekinian. Materi UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan konsepNKRI dikembangkan dalam pembelajaran kewarganegaraan sebagai dasar pengetahuan ketatanegaraan.

Pilar negara bhineka tunggal ika dapat dikembangkan dalam pembelajaran sosiologi yang menekankan pada keberagaman di Indonesia. Pembelajaran materi bhineka tunggal ika akan menjadi semakin menarik dan mengena bila didemonstrasikan dalam suasana yang mencerminkan ke Indonesiaan. Pembelajaran Pancasila dan pilar-pilar negara itu adalah sumber pengembangan nation and character building sebagaimana dikatakan Bung Karno.

Salah satu tugas profesional seorang guru adalah menyajikan materi yang efektif dan efisien, tentu dengan pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas anak didik. Dalam proses pembelajaran di kelas, pendekatan kontekstual yang dipadukan dengan konstruktivisme adalah contoh pendekatan belajar yang merangsang sifat ingin tahu anak didik melalui bertanya sebagai permulaan untuk membangun pengetahuan. Peran guru sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman bahwa belajar lebih bermakna dengan cara membangun pengetahuannya. Pendekatan kontekstual mengedepankan proses dengan tujuan membekali anak didik mengidentifikasi dan turut memecahkan persoalan yang terjadi di lingungan nyata. (Baja Waluyo, 2012).

Pendekatan pembelajaran ini lebih memberi ruang anak didik sebagai penerima pengetahuan aktif dengan cara pandang yang lebih luas daripada pembelajaran konvensional yang cenderung berpusat pada guru, meski kemungkinan besar tafsir dan analisis akan sangat beragam. Melalui pembelajaran kontekstual, konten Pancasila tidak diperlakukan sekedar dihafal dan sudah tidak relevan lagi terpusat satu arah, yaitu guru menerangkan murid mendengar dan menghafal. Perbedaan tafsir dan analisis terhadap suatu pengamatan atau penemuan bukan menjadi persoalan, justru sebagai proses pengembangan daya kritis dan partisipasi anak didik.

Menjadi hal yang sangat baik bila guru mampu menyususn proses pembelajaran Pancasila dengan memadukan teoritis-konseptual dengan situasi nyata. Sebuah pengetahuan akan semakin bermanfaat bila dikembangkan kepada lingkungannya. Tujuannya adalah anak didik didorong untuk menemukan persoalan di lingkungan sekitarnya dan turut berpikir dalam menemukan solusi agar mampu berpartisipasi sebagai bagian dari anggota masyarakat. Hal ini turut membentuk karakter anak didik yang relevan dengan kebutuhan bangsa di masa depan.

Berangkat dari penjelasan tersebut yang harus dipersiapkan adalah kompetensi guru yang meliputi aspek akademis, sosial, dan personal. Ini menjadi tantangan guru untuk lebih menyiapkan diri sebagai fasilitator yang baik dengan menguasai materi, menyiapkan sumber belajar yang tepat, merumuskan tujuan pembelajaran, dan menjadi kawan reflektif agar informasi atau hasil penemuan anak didik menjadi lebih bermakna. Guru menjadi penuntun anak didik untuk menggali, mengembangkan, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap apa yang ditemukan.

Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada anak didik, oleh karena itu menjadikan lingkungan nyata sebagai sumber belajar diharapkan lebih bermanfaat karena setiap pengalaman dengan sesama atau lingkungan sekitarnya adalah momen pendidikan nilai. Semoga Pancasila terawat dengan baik untuk mengembalikan jiwa ke-Indonesiaan kita.


Paulus Budi Winarto

Guru SMP Pendowo Ngablak

 

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment