Article Detail
Menumbuhkan Budaya Menulis
Bagi sebagian besar masyarakat kita, menulis tampaknya belum menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga yang terjadi di dunia pendidikan kita. Di dunia pendidikan sering kita mendengar argumentasi klasik yang selalu terlontar yang menggambarkan adanya mata rantai saling melempar tanggung jawab dari tingkat pendidikan paling tinggi ke tingkat pendidikan paling rendah. Dari jenjang yang paling tinggi, pihak perguruan tinggi seringkali menyatakan bahwa mahasiswa baru terkesan kacau balau dalam menyusun tugas laporan. Bahkan bukan hanya itu, penulisan skripsi juga bernasib sama. Penulisan kalimat, paragraf, pengorganisasian materi tulisan, dan alur pikiran masih kurang baik. Menghadapi kondisi yang demikian itu, pihak perguruan tinggi berpendapat bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMA/SMK masih carut-marut.
Sebagaimana yang terjadi pada level perguruan tinggi, di SMA/SMK pun sama kondisinya. Guru di SMA/SMK, terutama guru Bahasa dan Sastra Indonesia, cukup kecewa. Tamatan SMP yang melanjutkan ke SMA/SMK memiliki bekal kemampuan yang masih minim untuk bisa melaksanakan pembelajaran Bahasa dan Sastra.
Kalaupun rangkaian mata rantai berkeluh kesah dan melempar tanggung jawab tersebut diteruskan, tidak pelak lagi tentunya SD juga mendapat giliran. Dan akhirnya, siapa lagi yang pantas mendapat alamat sebelum SD? Jawabannya tentu masyarakat. Masyarakat dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas seluruh rangkaian ketidakberesan berbahasa tulis tadi. Alasannya sangat sederhana, yakni masyarakat tidak memberi contoh berbahasa yang baik dan benar atau masyarakat secara terang-terangkan memberikan contoh penggunaan bahasa yang salah. Penggunaan bahasa yang secara terang-terangan salah itu misalnya : salah ejaan, penulisan kata, pilihan kata, susunan kata, kalimat rancu, kalimat tidak lengkap, dan berbagai kesalahan yang hampir setiap saat bisa kita jumpai. Bahkan di media massa, kita juga sering menjumpai kesalahan penggunaan bahasa tulis.
Melihat kondisi seperti ini, ditambah dengan makin kendornya sikap orang dalam menggunakan bahasa yang baik dan benar secara proposional, tidak dapat dipungkiri imbasnya akan merambah kedalam penggunaan bahasa yang baik dan benar di lingkungan pendidikan. Semua kondisi yang tidak ideal sebagaimana dikemukakan di atas tentunya harus dicari cara pemecahannya. Akhirnya kalaupun harus ada alamat yang ditunjuk dan diberi peran untuk menyehatkan kondisi berkemampuan menulis, tidak pelak lagi hanya sekolah yang paling pantas dan paling tepat. Alasannya sekolah merupakan lembaga yang mempunyai peraturan dan tata tertib yang jelas untuk melaksanakan suatu pembelajaran, tak terkecuali pembelajaran menulis yang baik dan benar.
Mengingat berbahasa yang baik dan benar lebih bisa dikontrol melalui penggunaan bahasa tulis, maka mau tidak mau sekolah harus bisa menciptakan iklim agar budaya berbahasa tulis di sekolah bisa terbina. Dari pengalaman penulis yang secara kebetulan juga menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Pendowo Ngablak selama bertahun-tahun, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menggairahkan tumbuhnya budaya tulis siswa. Langkah-langkah yang harus ditempuh dapat dituturkan dalam uraian di bawah ini:
- 1. Melatakkan Dasar Tulis-Menulis
Peletakan dasar tulis- menulis ini terkait dengan aktivitas pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Siswa harus diberikan bekal yang benar dalam memilih kata, menyusun kalimat, merangkai paragraf, dan menyusun beberapa paragraf hingga terbentuk menjadi karangan pendek. Demikian juga, semua yang berkait dengan penggunaan tanda baca serta penggunaan huruf besar huruf kecil dalam karangan harus dikuasai dengan baik. Masalah ejaan dan penggunaan kata baku serta tidak baku harus dimengerti secara sempurna oleh siswa.
- 2. Menggiatkan Penerbitan Majalah Dinding
Agar dalam diri siswa tertanam kebiasaan menulis, sekolah hendaknya menggiatkan penerbitan majalah dinding. Majalah dinding adalah media latih tulis yang paling sederhana, fleksibel, dan murah. Sederhana karena ditilik dari bahan yang dibutuhkan dan peralatan pendukungnya tidak harus dibeli. Bahan utama sebagai tempat untuk menempel majalah dinding sangat beragam, seperti potongan hardboard, triplek, papan tulis, gabus, dan lain-lain. Sedangkan ditilik dari peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan karya siswa pun tidak ada yang mahal. Cukuplah dengan piranti seperti kertas, ballpoint, spidol, pensil, penggaris, dan komputer. Karya siswa dapat berbentuk karangan bebas, puisi, cerpen, kata-kata mutiara, opini, karikatur, vignet, artikel, dan berbagai karya lain bisa dituangkan dalam majalah dinding.
- 3. Mengadakan Lomba Mengarang
Lomba mengarang disini digunakan sebagai wahana agar para siswa terbiasa untuk aktif menulis atau mengarang. Lomba itu misalnya dikaitkan dengan hari-hari besar nasional, hari besar agama, atau event-event lain, dengan tema-tema tertentu. Dengan dibiasakan adanya lomba di lingkungan sekolah akan lebih menggalakkan budaya baca dan tulis sekaligus. Budaya baca pasti berkembang, sebab untuk bahan tulisan harus bersumber dari bacaan. Sebaliknya, dari bacaan-bacaan yang menarik juga bisa mengilhami siswa untuk tergelitik menghasilkan tulisan.
- 4. Menggiatkan Penerbitan Majalah Sekolah.
Langkah yang lebih positif lagi adalah menggiatkan penerbitan majalah sekolah. Budaya tulis siswa akan lebih berkembang bila di lingkungan sekolah diterbitkan majalah sekolah, atau yang sudah memiliki majalah sekolah untuk lebih digiatkan penerbitannya. Menjadi demikian karena majalah sekolah itu akan dikemas dalam tata letak, desain grafis, pewarnaan, dan variasi isi tulisan secara amat variatif. Sesuai dengan sifatnya yang bisa disimpan lama dan disebarluaskan, majalah sekolah tentu dipersiapkan dengan baik dan diterbitkan dengan pertimbangan yang masak. Bila pada akhirnya bisa terbit sebuah majalah sekolah, hal itu menunjukkan suatu tanda bahwa budaya tulis di sekolah sudah tumbuh. Tinggallah siswa dipacu terus agar budaya menulis yang telah mulai tumbuh itu menjadi semakin mantap. Semoga.
Paulus Budi Winarto
Guru Bahasa Indonesia SMP Pendowo Ngablak-Magelang
-
there are no comments yet