Article Detail

Meningkatkan Fungsi Edukatif Sekolah

Dari beragam pendapat para ahli pendidikan, mulai dari Socrates, Rousseau, hingga Dewey dan Thoreau atau bahkan Ki Hajar dewantara, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan ialah memberdayakan siswa didik. Artinya, akhir yang memahkotai segala usaha dan interaksi pembelajaran di sekolah ialah memampukan siswa didik untuk menerapkan kemampuan akal budinya dalam segala situasi, bukan hanya di bidang kerja dan keprofesian. Ini mengandaikan bahwa selain materi pembelajaran yang diterima siswa didik dari sekolah, ia juga mampu meluangkan waktu untuk belajar tentang diri sendiri. Dengan demikian ia dapat mengetahui kelemahan dan kekuatannya, sebelum menentukan sendiri tujuan hidupnya, dan melakukan investasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Oleh sebab itu,  peran kreatif sekolah harus mampu menciptakan ruang untuk berkreasi, agar siswa dapat memiliki  sejumlah kemampuan berikut ini:

Pertama, minat yang luas. Ibarat membuka pintu dan jendela di pagi hari, pendidikan memberi peluang bagi siswa didik untuk melakukan eksplorasi terhadap berbagai bidang yang dapat memicu minatnya untuk bergerak dan berkembang pada bidang tertentu.

Kedua, disiplin diri. Tidak sekedar menumbuhkan minat yang luas, pendidikan sekolah pun melatihkan disiplin diri pada anak. Disiplin diri akan menolong siswa untuk memahami, kalau tujuan hidup, obsesi dan minat apapun tidak mungkin tercapai tanpa disiplin diri. Yang dimaksudkan dengan disiplin diri adalah ketika siswa didik rela melakukan kegiatan yang harus dilakukan dan bukan hanya ingin dilakukan demi tercapainya tujuan hidup.

Ketiga, Falsafah hidup. Falsafah hidup dibutuhkan anak untuk berselancar dalam kehidupan yang semakin keras dan kompetitif ini. Sekolah harus membuka ruang bagi terciptanya falsafah pribadi dalam diri anak, entah melalui berbagai latihan rohani seperti yoga, meditasi, dan lain-lain.

Keempat, kepuasan dalam banyak hal. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memungkinkan siswa didiknya mencari kepuasan dalam banyak hal. Tidak hanya pada hal-hal yang material saja, melainkan hal-hal di balik itu.

Pendidikan sekolah memberikan ruang kreasi bagi peserta didik, ketika ia berhasil merumuskan tujuan hidupnya sendiri, dan mempertanyakan peran sekolah untuk membantunya mencapai tujuan tersebut. Sederhananya, ruang kreasi itu berperan ketika siswa didik sungguh merasakan bahwa sekolah memberi peluang emas baginya untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan itu ia perlukan sebagai dasar pemahaman hidup sekaligus untuk memperoleh perspektif dan visi yang lebih jelas lagi mengenai tujuan hidup yang ia inginkan.

 

 

Bidang Kreasi

Maka ruang kreasi yang ada di sekolah tak bisa dilihat secara fragmentaris, apalagi mereduksinya hanya pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan-kegiatan outdoor.  Pendidikan kreativitas di sekolah menyangkut eksistensi sebagai sebuah totalitas yang mencerahkan dan membangun ketika di sanalah siswa didik menemukan diri sendiri (self-discovery) dan mengarahkan diri (self-direction) menuju tujuan yang ia inginkan.

Dalam rangka ini, terdapat sejumlah bidang pengembangan yang seharusnya menjadi perhatian sekolah (Benet, 1992:156). Bidang-bidang pengembangan tercurah pada:

1)      Kompetensi intelektual atau keinginan intelektual (intellectual quriosity) yang memampukan siswa didik menggunakan nalarnya dalam berbagai situasi. Kemampuan yang mendorong siswa didik untuk menggunakan berbagai pendekatan ilmiah baik dalam bekerja maupun dalam berpikir.

2)      Pengembangan budaya terlihat dalam berbagai program yang memampukan siswa didik mengapresiasi seni, seperti musik, drama, melukis, atletik, dan berbagai kegiatan publikasi; kegiatan sosial; dan pengembangan hobi.

3)      Falsafah hidup yang terbentuk dalam pola perilaku yang bertujuan, ketika siswa didik berhasil menemukan sendiri alasan yang kuat bagi seluruh kegiatannya di sekolah dan memiliki standar etika dalam hidupnya.

4)      Perilaku unggul tercermin dalam integritas diri, rasa tanggung jawab, inisiatif, dan keberanian moral untuk mengatakan yang benar meskipun pahit untuk dikatakan.

5)      Keseimbangan emosional terlihat dalam sejumlah faktor umum seperti pengendalian diri, percaya diri, sens of humor, penyesuaian diri terhadap kelompok, dan pandangan spiritual.

6)      Social fitness terlihat dalam kemampuan untuk membina dan menikmati hubungan sosial yang luas, menjalin persahabatan, meningkatkan kepekaan terhadap berbagai problem sosial, seperti isu-isu di sekolah; kesadaran terhadap persoalan-persoalan kontemporer baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah; kesanggupan untuk menyampaikan kritik secara cerdas; dan kesediaan untuk menerima tanggung jawab sebagai warga sekolah, warga masyarakat, dan warga Negara yang baik.

7)      Physical fitness terlihat dalam fisik dan mental yang sehat akibat pola makan yang seimbang dan olah raga yang teratur.

Paradigma Baru

Di Indonesia gengsi merupakan hal utama dalam kehidupan sehari-hari. Orang boleh kehilangan segalanya, tetapi jangan sampai kehilangan gengsi. Gengsi berlaku baik di desa maupun di kota. Gengsi menyangkut gelar, status, kekuasaan dan pengaruh. Anak-anak diajari supaya mati-matian mempertahankan gengsi orang tua. Orang tua menuntut anaknya supaya memperoleh nilai yang terbaik di sekolah. Sepintas mungkin tidak menjadi  masalah, namun terlalu mengangung-agungkan gengsi dapat merugikan anak sendiri. Terutama anak-anak yang gagal mencapai apa yang diinginkan orang tua.

Dalam mempertahankan gengsi, orang tua seringkali hanya memusatkan diri pada hasil dan mengabaikan proses. Karena mengutamakan hasil, maka seringkali orang tua menghalalkan cara apa saja. Orang tua lebih bangga kalau anaknya cerdas dan bukannya rajin dan tekun. Penyakit jalan pintas dipupuk. Sukses pun ditempuh dengan cara-cara instan. Dampaknya terhadap pendidikan di Indonesia secara keseluruhan adalah, kita sedang mendidik generasi instan demi gengsi.

Tidaklah keliru untuk mengatakan bahwa, upaya pendidikan adalah ikhtiar untuk memberikan kesempatan to have serta memantapkan to be. Namun kenyataannya, banyak peserta didik yang mementingkan to have degree dari pada to be good intellectual.

Sudah waktunya kita mengubah paradigma di atas. Seharusnya sebuah sekolah memberi  kesempatan kepada siswanya untuk sendiri membina dan menempa kualitas dirinya, karena di samping sekolah, siswa juga dihadapkan dengan berbagai tuntutan lingkungan yang membesarkannya. Karena itu, adanya nilai-nilai kebebasan dan dinamisasi kehidupan sekolah akan lebih meningkatkan fungsi edukatif yang diembannya. Kreativitas akan berkembang di lingkungan sekolah, bila  sekolah dapat  mengembangkan kemampuan-kemampuan ilmiah dan riset peserta didik untuk mencapai masa depan yang mereka inginkan. Dengan demikian maka peran kreatif sekolah akan terwujud.

 



Paulus Budi Winarto

Guru SMP Pendowo Ngablak

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment