Article Detail

Menghargai Pluralisme/Kebhinekaan Di Kalangan Siswa

Pluralisme/Kebhinekaan masyarakat akhir-akhir ini terusik kembali dengan terjadinya berbagai macam kerusuhan yang berbau SARA di berbagai daerah. Tak terkecuali di Wilayah Jawa Tengah, seperti yang terjadi di Temanggung beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu membuat kita tercengang. Wilayah Jawa Tengah yang dari dulu dikenal sebagai wilayah yang kondusif tiba-tiba dikejutkan dengan berbagai peristiwa kerusuhan yang berbau SARA. Dengan peristiwa tersebut sebenarnya memberi pelajaran yang sangat penting untuk kita semua, bahwa  kesadaran mengenai pluralisme atau kemajemukan di masyarakat perlu ditanamkan sejak dini terutama melalui dunia pendidikan. Supaya anak-anak sejak dini sudah mempunyai kesadaran bahwa mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural atau majemuk.

Di dunia pendidikan atau di sekolah pun pluralisme masyarakat sebenarnya juga sudah mejadi fakta. Tetapi hal ini sering belum dipahami sepenuhnya oleh warga komunitas sekolah, sehingga hidup bersama secara damai sebagai warga sekolah dan sebagai sesama manusia belum terpenuhi. Ketidakmampuan seseorang untuk bersikap toleran, terbuka, dan menghargai nilai-nilai hidup bersama kelompok lain sering menimbulkan masalah. Sikap tertutup, dan prasangka buruk antar kelompok di lingkungan sekolah merupakan akar permasalahannya.

Misalnya kebiasaan ngrumpi berkumpul untuk membicarakan sifat negatif kelompok atau orang lain diantara para siswa dengan siswa, para orang tua murid, bahkan di antara para guru merupakan salah satu buktinya. Salah satu sasaran yang menjadi ngrumpi para siswa atau orang tua siswa ialah figur guru tertentu. Sifat, sikap dan ruang gerak guru dari ujung kaki sampai ujung rambut di kepala selalu dimonitor. Dari gaya umum sampai gaya khusus seorang guru dapat ditirukan oleh seorang siswa.

Apabila yang dibicarakan ialah pribadi anak yang satu dengan anak yang lain dari para siswa yang terjadi adalah terbentuknya kelompok atau geng. Tidak tertutup kemungkinan pula geng antar orang tua murid yang masih sempat-sempatnya ngrumpi di lingkungan sekolah. Akibatnya, bisa terjadi hubungan yang kurang harmonis apabila sudah ditemukan keganjilan prilaku yang tidak disenangi di antara kelompok tersebut.

Padahal perbedaan bukanlah hal yang buruk tetapi hal yang dapat saling memperkaya nilai-nilai budaya yang luhur yang perlu dijunjung tinggi. Kita yang terjun di dunia pendidikan tidak merasa asing dengan adanya pluralisme. Lihat saja murid kita yang memiliki beragam sifat dan sikap yang terbentuk dari keadaan sosial budaya yang didapat dari lingkungan keluarga. Begitu juga guru dan karyawan memiliki perbedaan latar belakang ras, suku, agama, sosial, politik, dan budaya.

Memang ada banyak perbedaan yang harus dikendalikan dari dalam diri kita dalam menghadapi, misalnya saja bentuk sifat pendiam dan periang. Keduanya ada yang menyenangkan dan ada pula yang menjengkelkan. Guru ada yang lemah lembut ada pula yang keras. Masih banyak perbedaan-perbedaan yang memang semuanya harus dihargai. Beri kebebasan pada siswa dan guru untuk mengapresiasi sikap dan sifat yang dimiliki untuk mengalami sebuah realitas pendidikan menghargai pluralisme.

Siswa yang mengalami perlakuan beragam dari guru akan memberi bekal untuk mengapresiasikan suatu perbuatan yang pantas bila nantinya terjun di masyarakat yang nota bene diwarnai kemajemukan. Siswa perlu dididik untuk memahami dan menghargai pluralisme melalui pendidikan nilai. Untuk memperteguh siswa dalam menghargai pluralisme di adakan pembinaan siswa manakala siswa menghadapi masalah dengan temannya. Inilah kesempatan guru untuk memberi arahan kepada siswanya.

 

Menghargai pluralisme/Kebhinekaan

Bagaimana cara mendidik anak menghargai pluralisme/Kebhinekaan? Berikut ini merupakan beberapa pendekatan dalam mendidik anak agar dapat menghargai pluralisme di lingkungan sekolah.

Pertama, Membangun persaudaraan sejati

Persaudaraan sejati pada peserta didik dapat dibangun melalui kegiatan perlombaan atau kompetisi yang di dalamnya dibangun sikap kerja keras dari semua pihak untuk mencapai prestasi, membangun sikap kejujuran dalam bersaing, dan sikap sportif. Dalam kompetisi itu terjadi pembauran dari beragam individu siswa yang dapat terpisahkan pembatas asal usul suku, ras, agama, budaya. Mereka dapat bersatu hidup rukun. Siswa akan menyadari persudaraan itu akan menjadi indah manakala tampil para peserta lomba sebagai individu yang masing-masing hanya memiliki keunggulan dapat bersatu padu dan bekerja sama.

Persaudaraan dapat pula dibangun melalui pendidikan formal seperti pendidikan agama dalam kesempatan kegiatan keagamaan siswa. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam materi Bhineka Tunggal Ika yang tidak hanya menekankan pada teori saja tetapi juga praktik memahami Kebhinekaan itu sendiri. Misalnya dalam kegiatan amal kemanusiaan kepada masyarakat majemuk.

Kedua, Memberi penghargaan

Penghargaan yang tepat sasaran akan menciptakan sikap timbal balik yaitu saling menghargai satu sama lain. Penghargaan dapat diberikan kepada para pemenang dalam perlombaan, para siswa yang sedang merayakan hari raya keagamaan, para siswa atas keunikan bentuk kepribadian, dan prestasi-prestasi yang dibuat siswa baik dalam bentuk ucapan selamat maupun cindera mata. Bentuk penghargaan demikian membuahkan penghargaan atas prilaku dan kepribadian yang unik.

Ketiga, Memberi kedamaian

Perlakuan yang baik dapat dimulai oleh guru kepada para siswanya dalam bentuk melihat, menyapa, dan memperlakukannya sebagai pribadi yang baik-baik. Perlakuan ini akan menggali keluar benih kebaikan yang sudah ada dalam diri siswa sebelumnya. Benih akan bertumbuh, berbunga, dan berbuah yaitu buah perdamaian. Berbeda dengan prasangka buruk, prasangka buruk yang akan timbul adalah benih-benih keburukan yang dimunculkan sehingga bertumbuh, berbunga, dan berbuah kebencian dan kejahatan.

Ketiga pendekatan di atas diharapkan dapat mengubah kebiasaan ngrumpi yang isinya membicarakan keburukan orang, berubah menjadi pembicaraan yang bermanfaat. Keluhan-keluhan orang tua, konflik antar siswa, membeda-bedakan kepribadian, dan asal-usul budaya, ras, agama, pun dapat berubah ke bentuk saling menghargai bahwasannya kita semua adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Manusia di hadapan Tuhan adalah sederajat, tidak pandang miskin atau kaya, buruk rupa atau cantik rupawan, berpendidikan dan tidak berpendidikan. Semua adalah sama sama makhluk ciptaan Tuhan yang baik dan indah adanya.    

Paulus Budi Winarto
Guru SMP Pendowo Ngablak Magelang
 

 

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment