Article Detail
Liberalisasi Dunia Pendidikan
Legalisasi perdagangan bebas memberikan peluang tumbuhnya liberalisasi dan kapitalisme baru di segala dimensi kehidupan manusia. Sadar atau tidak sadar, liberalisasi dan kapitalisme telah memacu perkembangan peradaban manusia. Dunia pendidikan pun mengalami sentuhan dan semangat leberalisasi guna mengangkat martabat bangsa dalam persaingan global.
Semula liberalisasi hanya berakar pada lembaga swasta bonafit, kuat secara financial dan memiliki modal kuat. Munculnya sekolah-sekolah berstandar internasional pertanda embrio liberalisasi pendidikan. Fakta kasat mata sekolah-sekolah tersebut menjadi tujuan masyarakat, karena menjanjikan orientasi dan impian masa depan.
Liberalisasi kian tak terbendung memunculkan pesimisme baru akan kualitas pendidikan. Para praktisi pendidikan mulai menggemakan progresivitas pendidikan. Liberalisasi dipandang dapat mencabut akar nasionalitas, kultur lokal, dan menawarkan peradaban baru, khususnya fenomena westernisasi dan amerikanisasi.
Sekolah-sekolah berstandar nasional semakin marginal. Permasalahan pokok yakni bagaimana mempersiapkan anak didik dalam memasuki kultur globalisasi. Menghalangi pengaruhnya rasanya nihil; tindakan solutif dan antisipasif harus dikedepankan. Masyarakat global sangat progresif, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hampir meluluhlantahkan tatanan sosial yang mapan.
Problem baru, kalangan cerdik pandai melihat dampak kapitalisme baru terhadap dunia pendidkan. Para praktisi pendidikan memetakan kaya dan miskin dalam perspektif pendidikan. Kesempatan orang kaya mendapatkan peluang pendidikan yang layak dan berkualitas terbuka lebar. Sementara kaum miskin akan terpuruk; sembari terus menerus mengais keberuntungan guna memperbaiki label kemiskinan menuju kualitas hidup sejahtera. Asumsi demikian justru membangkitkan rasa pesimisme terhadap perbaikan mutu pendidikan. Pendidikan secara hakiki adalah hak setiap insan, tidak memandang strata sosial. Faktor fundamental yang harus kita benahi adalah prinsip dan paradigma pendidikan dalam perspektif kesejahteraan umum.
Parameter kualitas sebuah sistem pendidikan bukan biaya mahal atau murah, tapi sinergi antar visi dan misi pendidikan yang diaplikasikan dalam seluruh proses pembelajaran, dalam rangka membangun kesejahteraan umum. Prioritas diarahkan pada kesejahteraan guru, kepedulian terhadap degradasi moral, kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan kesehatan dan hidup bermasyarakat, serta apresiasi yang pantas terhadap kreativitas. Lembaga pendidikan dapat dilegalisasi kualitasnya jika telah mengarahkan seluruh visi dan misi kepada kepentingan masyarakat banyak. Kepentingan masyarakat menjadi urgensi visi pendidikan. Keberhasilan atas pencapaian memperbaiki kualitas sumber daya manusia berakhir dalam nasionalitas dan membangun kualitas hidup.
Banyak anggaran pendidikan, dana BOS yang tidak sampai kepada masyarakat miskin, ditemukan banyak penyelewengan. Bangunan sekolah dibiarkan rapuh, tidak layak sebagai sarana pembelajaran. Bagaimana kita bisa membawa anak bangsa ini kepada kesejahteraan umum, bila keterpurukan terus menerus direpresentasikan di wilayah perkotaan, sedang wilayah pedesaan harus ‘mandiri’ dengan sumber daya seadanya. Prioritas pembangunan dipusatkan di area perkotaan; ledakan penduduk akibat urbanisasi menjadi masalah serius. Kemiskinan mulai beralih ke daerah perkotaan. Kaum marginal setiap tahun menjadi ‘korban’ kepongahan birokrasi atas alasan pembangunan.
Kerapkali masyarakat menganggap liberalisasi menjadikan bangsa tidak mampu berkompetisi. Hal ini sejatinya dipengaruhi oleh kepercayaan diri sebagai anak bangsa. Dampaknya tumbuhnya jargon-jargon kapitalis yang mengukur segala sesuatu dengan modal,sehingga persaingan menjadi tidak sehat, radikalisme muncul sebagai reaksi atas ketidakmampuan dalam persaingan. Padahal sistem ideologi liberalisasi hanya sebuah instrument mempercepat proses kemajuan sebuah bangsa. Manipulasi birokrasi pun menghambat pencapaian tujuan mulia. Liberalisasi seharusnya memacu spirit pendidikan kita untuk bergerak maju. Kultur kolektivitas dan kebersamaan harus menjadi aset penting membangun bangsa ini. Tujuan kesejahteraan umum menjadi orientasi dasar pendidikan di era globalisasi.
Dalam rangka mencerdaskan bangsa dan demi kesejahteraan umum, prinsip subsidiaritas dapat dijadikan paradigma edukasi modern. Banyak lembaga pendidikan telah memulai program subsidiaritas terhadap sekolah-sekolah dengan kemampuan finansial terbatas. Pendidikan dengan biaya murah atau mahal, dari golongan kaya atau miskin, harus diarahkan pada kesejahteraan umum. Orientasi pada kesejahteraan umum menjadi tujuan dasar pendidikan kita. Sangat tidak berimbang bila lembaga pendidikan mengangkat manusia kepada keadaban baru, tetapi wajah pendidikan terus terpuruk.
International Baccalaurreate Organization, sebuah lembaga edukasi bertaraf internasional, telah menaruh perhatian pada pelayanan masyarakat banyak; dengan prioritas pada pelayanan kepada komunitas lokal maupun internasional, hidup dan kesehatan, membangun akses pada pelayanan publik, membangun sentral pengembangan minat baca pada sekolah-sekolah lokal.
India dan Cina menjadi menjadi Negara super-power Asia telah menerapkan kurikulum dari International Baccalaurreate. Kedua Negara tersebut menjadi barometer representasi persaingan global, bersama Negara-negara industri modern. Di sana anak didik diarahkan kepada hidup yang mandiri, peduli dan siap melayani masyarakat umum. Kontribusi berupa materi atau finansial tetap membatasi garis demarkasi antara miskin dan kaya. Sekarang anak diajarkan untuk peduli terhadap penderitaan sesama mereka yang telah bercucuran keringat dan air mata demi sebuah impian kualitas sumber daya dan kelayakan hidup. Batas-batas perbedaan tidak menjadi halangan untuk berprestasi, tetapi tantangan untuk menyatakan kepedulian dalam pelayanan kepada publik.
Kepedulian terhadap berbagai masalah sosial harus mendapat prioritas berimbang dengan tuntutan akademis. Disinilah pendidikan nilai hakiki mendapat peran sentral. Bila lembaga pendidikan hanya mengejar target pencapaian hasil akhir (Ujian Nasional), dampak akan memiskinkan kualitas pendidikan. Kesempatan sekolah berkualitas dengan biaya mahal menjadi tujuan publik, karena lembaga pendidikan tersebut dipandang kredibel dan kompeten memajukan kualitas bangsa. Apalagi masyarakat kita sidah terpola, bahwa keberhasilan diukur dari hasil akademis.
Dewasa ini pencari tenaga kerja menambahkan aspek kedisiplinan, kemandirian, etos kerja, kejujuran, kemampuan membangun jejaring, membaca peluang, mau menjalin kerjasama menjadi syarat utama. Pencapaian akademis hanya sebuah kandungan, dengan menyeimbangkan aspek tersebut. Banyak orang yang pintar, kaya, smart, tetapi hatinya jauh dari kepedulian terhadap permasalahan sosial. Orang kaya akan lebih leluasa mendapatkan pendidikan. Masyarakat miskin tetap dan terus terpuruk. Jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat.
Sebagai anak bangsa yang merdeka, kita tentunya tidak membiarkan munculnya neokolonialisme dan imperialisme baru. Neokolonial wajah baru tampak dalam manifestasi bentuk penjajahan edukatif. Bangsa ini harusnya keluar keluar dari aneka keterpurukan. Orientasi dasar pendidikan pada peningkatan kesejahteraan umum harus diberi prioritas. Kita tentu menginginkan leberalisasi pendidikan berpihak kepada kecerdasan dan kesejahteraan umum, membebaskan masyarakat miskin dari tekanan sosial, kultur, ekonomi ,dan politik.
Pendidikan, kendati telah terkontaminasi oleh liberalisasi dan globalisasi harus menyelesaikan aneka persoalan bangsa. Kita tentu tidak menginginkan bangsa yang kaya dengan sumber daya alam, mengalami pemiskinan struktural. Tugas kita menyiapkan generasi muda untuk menjadi insan yang handal bagi bangsa dan Negara. Pada akhirnya kerinduan akan kebahagiaan dapat diraih.
Marilah kita membangun bangsa untuk bangkit dari keterpurukan menuju bangsa yang berkualitas dan siap bersaing di era globalisasi dan liberalisasi. Semoga.
Paulus Budi Winarto
Guru SMP Pendowo Ngablak-Magelang
-
there are no comments yet